Senin, 18 Mei 2009

Sudah lama saya ingin ke Papua tetapi belum pernah kesampaian. Maunya sampai jelajah ke hutan-hutan ke Lembah Baliem, melihat suku Asmat berekspresi atau ke daerah Freeport yang katanya ada kota di tengah hutan. Atau sekedar melihat dari dekat salju abadi di daerah gunung Jayawijaya. Beberapa buku tentang Papua dan masyarakatnya sudah saya baca. Saya sudah membeli buku Asmat, Menyingkap Budaya Suku Pedalaman Irian Jaya. Terbitan th. 1986 karangan Dea Sukarman pada tahun 1997. Juga ada Buku Asmat Art, Woodcarvings of Southwest New Guinea by Dirk Smidt, Etno Artistik yang berisi corak seni suku Asmat.

Beberapa novel berlatar Papua sempat saya koleksi, antara lain Namaku Twereut karangan Antropolog Ani Sekarningsih. Buku anak hadiah dari Yayasan SET, Kawan di Rawa Biru, terbitan Visi Anak Bangsa, 2001 juga sempat saya koleksi. Buku Lima Belas Tahun Digul di Kamp Konsentrasi di Nieuw Guinea oleh IFM Chalid Salim, terbitan th. 1977 juga merupakan informasi yang bagus tentang cerita tanah Papua terutama di Digul pada era tahun 1930-an. Dari buku karangan adik H Agus Salim tersebut banyak cerita tentang kehidupan suku Papua asli, kehidupan kaum interniran -diantaranya Hatta, Syahrir, kawasan hutan dan sungai-sungainya yang besar yang penuh dengan binatang dan penyakit malaria. Peristiwanya terjadi pada era penjajahan Belanda. Disamping itu belakangan saya baca informasi dari internet yang sangat banyak untuk memperkaya pemahaman tentang Papua. Terutama di situs trekkingpapua.com.

Saya juga mengikuti perkembangan informasi Papua sebatas saya bisa ketahui. Info dari Buku Indonesia Papua Kemurnian yang Tersembunyi terbitan Dinas Pariwisata Propinsi Papua, 2006 yang saya baca di Hotel Swiss Belhotel Papua, Jayapura memberi tahu bahwa Papua : Propinsi ke26, jumlah penduduk 2.162.845 jiwa. Mempunyai 250 bahasa, hutan lebat dan salju abadi merupakan keunikan Papua.

Prop. Papua sebelumnya bernama Irian Jaya, telah dimekarkan menjadi 2 prop yaitu Irian Jaya Barat beribukota di Manokwari dan Papua ibukotanya Jayapura. Pemekaran berdasarkan UU No 45 Tahun 1999. Prop Papua terdiri dari 20 kabupaten dan kota yang mengacu pada UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan dan UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Prop Papua.

Prop Papua luas 410.000 km mulai dari dataran rendah sampai puncak tertinggi 5.500 m. Ada 25 sungai besar, ribuan sungai kecil dengan panjang seluruhnya 5.180 km antara lain Sungai Digoel di Merauke Sungai Memberamo di Sarmi. Ada banyak danau, diantaranya Danau Sentani di Jayapura, Danau Yamur, Danau Tigi dan Danau Paniai di Kab. Paniai dan Kab. Nabire.

Juga nama-nama yang begitu lekat di kepala. Dari pemain bola dikenal banyak nama, antara lain Joanes Auri, Rudy Kelces, Jonas Sawor, Teodoris Bit Bit. Juga kelompok musik tahun 70-an Black Brothers. Saya ingat juga nama pemain Diklat Mandau yang masuk ke PS Bontang PKT, Martinus Konyol yang asli Papua. Untuk laga PON, kesebelasan Papua langganan finalis untuk cabang sepakbola. Saya ikuti wawancara Bupati Fak Fak yang muslim, Dr. Wahidin Puarada Msi di Harian Republika. Yang membikin terheran adalah prestasi Septianus George Saa yang memenangkan lomba “First Step to Nobel Prize in Physics”.di Polandia tahun 2004 dan Anike Nelce Bowaire dari SMAN 1 Serui, Papua yang membawa medali emas dalam kompetisi riset tingkat dunia yang sangat bergengsi, The First Step to Nobel Prize in Physics ke-13 tahun 2005.

Tetapi melihat kondisi sekarang sebagai karyawan dan tak banyak waktu luang maka mimpi saya tak usah terlalu muluk. Bisa ke Papua dan merasakan aroma bumi cendrawasih saja sudah senang. Jadilah kesempatan tugas perusahaan ke Papua, saya menangkap peluang tersebut. Saya bersama senior saya, Wien Hartono merencanakan pergi ketiga kota penting di Papua, yaitu ke Jayapura, Merauke dan Sorong pada 13-24 Juli 2009. Kebetulan ditambah lagi ke Ambon. Lengkap sudah menjelajah ke Indonesia Timur.

Tak ada persiapan khusus, kami hanya menyiapkan waktu, mengatur pekerjaan kantor dan mengatur skedul. Wah ini yang menyita waktu karena harus janjian dengan tuan rumah dan membeli tiket penerbangan lokal. Tak semua tiket bisa dibeli melalui agen tiket di luar Papua.

Ada informasi kalau mau ke Papua harus minum obat kina dulu untuk mencegah penyakit malaria. Saya tanya ke seorang teman yang bertugas di Papua dan dijawab makan obat boleh tidak juga tak apa-apa. Saya tanya istri yang berprofesi sebagai dokter, malah dijawab lebih ekstrim, makan satu bulan sebelumnya dan satu bulan sesudahnya seminggu sekali 2 tablet. Disarankan minum obat kloroquin. Karena harus sudah berangkat dan waktu tinggal satu hari maka saya minum pil kloroquin 2 tablet.

Terbang Balikpapan-Makassar-Jayapura

Perjalanan ke Papua adalah perjalanan panjang, menembus zona waktu dari Waktu Indonesia Tengah ke Timur dan memakan waktu lebih dari 5 jam dengan pesawat. Kalau di Eropa sudah menembus berapa negara. Indonesia memang sangat luas. Dari Balikpapan kami naik pesawat Garuda jam 16.00 dengan tiket seharga Rp863.400. Sekitar 50 menit kami sampai Makassar. Ada waktu transit sekitar 9 jam di Bandara Makassar. Mau ngapain buying time? Kami mencari tempat loker penitipan tas tetapi hanya sampai buka sampai jam 20.00 dengan tarif Rp5.000. Apa mencari taksi dengan masih membawa tas travel untuk memutari kota Makassar? Kami lalu menghubungi seorang teman yang bekerja di Makassar dan menawari mobil. Kami dijemput sopirnya, Iwan untuk sekedar jalan-jalan mengitari Makassar menunggu waktu terbang. Kami makan malam di Restoran Ulu Juku (Kepala Ikan) di Jl Abdullah Daeng Sirua, kawasan Boulevard, Makassar yang terkenal itu. Menu yang terkenal enak pallu (masakan) mara (dimasak dengan bahan berbumbu). Ada model ulu juku goreng, dimasak sop dan yang lebih kental, gulai. Rasannya enak tenan he…he…

Kami lalu berputar-putar sebentar ke kota menunggu sekedul waktu. Sedang dibangun jalan tol dari Bandara ke kota Makassar tetapi belum sepenuhnya jadi.

Sekitar jam 22.00 kami sampai bandara Hasanuddin lagi. Jam 02.00 kami terbang dengan Merpati ke Jayapura dengan tiket seharga Rp2.635.400. Kami menunggu di ruang tunggu lounge. Rasanya capek sekali menunggu sekitar 4 jam karena skedul tubuh harusnya sudah tidur. Mau tidur tak juga bisa tetapi mata mengantuk saja. Untung kursi sofanya enak untuk berbaring. Kami baca saja semua koran yang ada di situ sambil menonton TV dan menikmati hidangan. Ada liputan tentang restoran Ulu Juku di sebuah majalah. Mendekati jam berangkat kami ke ruang tunggu. Mulai terlihat beberapa wajah Papua yang menunggu pesawat. Ternyata di situ banyak anak-anak kecil juga begadangan untuk menunggu skedul pesawat. Ada keluarga kecil dengan anaknya. Ibunya sambil terkantuk-kantuk menenangkan bayinya. Bapaknya menunggui anak satunya. Juga beberapa keluarga yang lain. Melihat “perjuangan” itu ternyata masih ada yang lebih susah bila liburan dari merantau dibanding kami bila naik pesawat sekeluarga dari Surabaya ke Balikpapan dengan pesawat pagi-pagi. Merantau ke Papua tentunya butuh effort yang lebih besar. Bandara Makassar buka 24 jam karena sering untuk transit pesawat dengan tak mengenal waktu. Mungkin menyesuaikan waktu mendarat di Jayapura pada pagi harinya. Di parkiran terlihat pesawat Garuda, Merpati, Lion yang juga ada skedul ke Jayapura.

Sekitar jam 02.00 kami bourding. Pesawat penuh juga. Ada rombongan atlet PON yang telah selesai bertanding dari Kalimantan Timur. Terlihat dari baju yang mereka kenakan ada logo PON dan nama kontingen. Di pesawat suasana hening karena mengantuk semua. Pramugari dengan wajah setengah kuyu tetapi berusaha tersenyum. Sepertinya menahan kantuk. Apa enaknya kerja pada dini hari dengan melawan bioritmik hidup? Saya juga berusaha untuk tidur meski susah karena ruang kursi pesawat Merpati yang sempit. Pokoknya mata terpejam saja. Pesawat terbang tenang entah sudah berapa jam. Menjelang pagi, sholat subuh di pesawat dengan tayamum. Tak lama, sinar matahari mulai menyapa. Wow! Di tengah capeknya badan, terbang diantara mega-mega. Sinar matahari mulai terang. Terlihat pemandangan di bawah, hutan-hutan yang berbukit-bukit. Sepertinya hutannya masih lebat. Mendekati Bandara Sentani, terlihat Danau Sentani dari atas diantara tanah-tanah yang berbukit-bukit. Ada kabut tipis di udara Sentani.

Pesawat mendarat mulus. Sampai Bandara Sentani, Jayapura sekitar jam 06.45 WIT. Bandaranya masih sederhana di antara lekukan bukit. Batas bandaranya di landasan pacu pepohonan hutan dan tak ada pagarnya. Banyak juga pesawat yang parkir. Ada pesawat TNI, helikopter, pesawat kecil, dan beberapa pesawat yang direparasi. Sepertinya juga dijadikan hanggar pesawat TNI. Kami masuk di ruang kedatangan yang bentuk bangunannya mengadaptasi rumah tradisionil Papua, rumah model Suku Dani yang berbentuk seperti jamur.

Mulai terlihat porter berwajah Papua dengan badan yang kuat. Tempat belt conveyor mengambil bagasi pendek sekali seperti Bandara Solo. Banyak sekali poster peringatan penyakit Aids. Ya informasinya Papua menjadi juara pertama dalam penyebaran penyakit HIV/Aids di Indonesia. Ada banyak iklan penawaran hotel. Ada yang membuat saya tertarik, penginapan dengan bungalow berbentuk rumah tradisional Papua di Lembah Baliem. Wah bagaimana rasanya menginap di situ?

Kami dijemput seorang teman yang bekerja di Jayapura, Suhardi dengan mobil Avansa hitam. Selamat datang di Papua. Seperti apa Papua, di sini kami ingin tahu segalanya.

Menikmati Jalan di Danau Sentani dan Jayapura

Kami menyusuri jalan pagi dari Bandara Sentani ke arah Jayapura. Jaraknya sekitar 40 km. Tentunya mata kami tak mau lepas dari pemandangan jalan. Kamera foto digital sudah disiapkan. Begitu keluar areal bandara ada bangunan seperti kuburan di pinggir lapangan yang menyita perhatian saya. Bangunan apa itu? Katanya, makamnya Dortheys Hiyo Eluay, seorang tokoh Papua yang terbunuh pada 10 November 2001. Kami menyusuri jalan di pinggir Danau Sentani. Inikah danau terbesar nomor dua di Indonesia setelah Danau Toba? Dalam kelok-kelok jalan masih saja menyusuri pinggir Danau Sentani. Pemukiman masih sangat jarang. Ada beberapa restoran di pinggir danau.

Danau Sentani adalah danau terbesar di Papua, menerima 24 mata air aliran sungai dan sumur bawah tanah dari Gunung Cycloop dengan outlet di Sungai Tami. Di seputar danau hiduplah suku bangsa Sentani, ras Papua-Melanesia, kelompok etnis Sentani-Tanamerah (Demta), sub etnis Sentani, wilayah budaya Tabi. Danau Sentani merupakan danau alam dengan pulau-pulau yang berbukit-bukit di tengah-tengah danau. Luas danau adalah 3,63 hektar dengan ketinggian 75 m di atas permukaan air laut. Di lokasi ini terdapat pemandangan alam yang indah dengan beberapa tempat pemancingan yang dilengkapi pondok-pondok yang berbentuk panggung. Di sini banyak ditemukan ikan-ikan yang masih segar.

Sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian memancing selain menjual berbagai ukiran tradisional dari kayu. Danau ini merupakan tempat yang sangat bagus untuk berenang, bersampan, memancing, bermain ski air dan melakukan beberapa olah raga air lainnya. Sayang fasilitas untuk itu tidak terlihat. Para pengunjung juga bisa menyaksikan seni tari tradisional pada acara festival atau pada hari-hari perayaan. Danau Sentani terletak di Kecamatan Sentani, 20 kilometer di sebelah barat kota Jayapura, dapat dijangksau dengan berbagai macam sarana transportasi dalam waktu 20 menit. Angkutan umum yang dapat digunakan yaitu jalur Abepura-Sentani.
Di seberangnya terlihat pemandangan bukit-bukit tandus yang ditumbuhi rumput. Saya ingin melihat rumah asli Papua yang seperti bentuk jamur tetapi tidak ketemu. Rumah-rumah sudah seperti rumah biasa berdinding tembok atau kayu. Banyak sekali gereja di kiri kanan jalan dari yang sederhana sampai dengan arsitektur cantik.. Bermacam nama gereja.

Kami makan pagi di RM Padang Perna Abadi di Jl Abepura. Penjualnya bukan dari Padang asli tetapi dari Bugis. Rumah makan Padang adalah menu pilihan paling aman untuk makanan halal. Kami lihat daftar harganya satu porsi makan sederhana sekitar Rp28.000. Harga Papua he..he… Pak Wien di Bandara Sentani sempat membeli tabloid seharga Rp40.000 tetapi setelah dibuka ternyata sudah kedaluwarso beberapa bulan. Ini juga di Papua he..he..

Kondisi tanah di Jayapura berbukit-bukit. Kantor Walikota Jayapura di atas bukit. Kotanya hanya di daratan seputar Selat Arafura. Gabungan antara tanah berbukit dan laut yang biru nampak indah. Di seberang jauh sana nampak Samudra Pasifik. Rumah-rumah berjejalan di suatu tempat datar dan berpencaran disesuaikan dengan kondisi tanah. Melewati sebuah jembatan sungai kecil, nampak beberapa ekor babi bermain di sungai.

Kami langsung check in di Hotel Yasmin di Jl Percetakan Negara No. 6 Jayapura. Karena masih capek dan belum sempat tidur kami mau bersih-bersih badan dan istirahat dulu. Hotel Yasmin hotel bintang 3 dengan 5 lantai dan tarifnya sekitar Rp400 ribuan. Di depan hotel ada restauran KFC (Kentucki Fried Chicken) dan Supermarket Gelael. Kamar hotel kecil dan tak kelihatan jendelanya karena hanya menempel sedikit di pinggir bukit. Setelah istirahat sebentar kami makan siang ikan mujair bakar di daerah Entrop.

Malam, kami melihat buku-buku lokal di Toko Buku Gramedia, yang berjarak sekitar 500 m dari hotel. Koleksi bukunya di Gramedia komplet juga. Banyak sekali buku-bukunya Andrea Hirata dan Habiburrahman. Saya membeli buku novel Sali, kisah wanita suku Dani karangan Dewi Linggawati, seorang antropolog alumni UGM yang bekerja di Pemprov Papua dan Buku Sentani, motif gaya rias oleh Don AL Flassy, penerbit Balai Pustaka. Pengarang adalah peneliti dan Perencana pada Badan Perencana da Pengendalian Pembangunan Daerah (BP3D) Prov. Papua tinggal di Jayapura. S1 IKIP Yogya, MA di Rijksuniversiteit te Leiden, Nederland. Ternyata banyak juga buku-buku karangan Flassy. Sekedar menikmati hasil karya masyarakat lokal dan menambah informasi tentang karya seni Sentani. Kami makan malam dengan menikmati sate Madura di dekat hotel. Satu porsi sate ayam dengan 10 tusuk Rp20.000, lebih mahal dibanding harga di Bontang.

Pagi kami nikmati dengan jalan-jalan pagi ke sekitar pelabuhan. Beberapa orang tertidur di pinggir sungai atau di terminal. Menurut informasi beberapa orang, sudah menjadi kebiasaan masyarakat yang suka minum minuman keras. Katanya para aparat dan karyawan juga ada yang suka minum-minum bila tanggal gajian. Menurut Buku Ekspedisi Tanah Papua, laporan jurnalistik Kompas, 2007, ada semacam guyonan yang mengatakan kalau orang kaya Papua tidurnya di pinggir selokan karena malamnya mabuk berat. Yang tak punya uang tidurnya di rumah karena tidak bisa membeli minuman. Tetapi kondisi sekarang sudah lebih baik dalam beberapa tahun terakhir.

Dalam berita Tabloid lokal Tifa Papua edisi Juli 2008, Kapolda baru Papua, Irjen Polisi Drs. FX Bagus Ekodanto juga menyerukan ke bawahannya tidak akan mentolelir anggota Polri pengguna narkoba dan miras. Beberapa catatan kasus menonjol di Papua pada pertengahan 2008, diantaranya adalah pemalakan ada 19 kasus, penemuan mayat 5 kasus, perang saudara 2 kasus, rapat gelap 3 kasus. Masih ada satu kasus pengibaran bendera bintang kejora dan permintaan suaka politik.
Sedikit informasi tentang Jayapura. Sebelum perang dunia II, saat Belanda mendarat di Papua, Jayapura diberi nama “Hollandia”, yang berarti daerah berbukit-bukit dan berteluk. Saat itu daerah ini ditunjuk sebagai ibu kota “Dutch New Guinea”. Setelah definitif kembali ke Indonesia pada 1 Mei 1963, nama “Hollandia” menjadi “Kota Baru” (1963-1969), lalu “Sukarnopura” (1969-1975), dan akhirnya “Jayapura”.
Jayapura terletak di bibir Teluk Yos Sudarso dan Teluk Yotefa. Pemandangan indah panorama alam yang berbukit-bukit serta hamparan lautan Pasifik berair biru jernih menawarkan obyek wisata menarik. Pemerintah kota pun merancang Jayapura sebagai kota jasa, perdagangan, dan pariwisata. Di luar itu, sebutan kota pendidikan atau pun kota pelabuhan juga melekat bagi ibu kota Provinsi Papua ini. Citra sebagai ibu kota provinsi yang menyandang segala kemudahan pemenuhan kebutuhan hidup dan sarana pendukung menyebabkan kota ini jadi kota tujuan. Beragam etnis, agama, budaya, maupun tingkat pendidikan mewarnai kehidupan kota. Mereka bekerja di berbagai bidang mulai pertanian hingga pemerintahan.
Topografi daerah cukup bervariasi, mulai dari dataran hingga daerah berbukit di ketinggian 700 meter di atas permukaan air laut. Jarak terjauh dari barat ke timur 336 km, sedangkan jarak terjauh dibagi menjadi 24 distrik, 261 desa dan 7 kelurahan. Distrik terkecil adalah Sentani dan Sentani Timur. Wilayah perbukitan terjal, rawa-rawa (146.575 ha), dan hutan lindung dengan kemiringan 40 persen merupakan daerah yang tidak layak huni. Kondisi seperti itu membuat penyebaran penduduk kurang merata. Penduduk banyak terkonsentrasi di pusat kota, yaitu Kecamatan Jayapura Utara dan Jayapura Selatan. Sungai yang melintas di kabupaten Jayapura terdiri dari 21 buah, sebagian besar menuju ke pantai utara (samudra pasifik) yang pada umumnya sangat tergantung dengan fluktuasi air hujan.
Kondisi jalan yang baik membuat Jayapura memiliki fungsi sebagai kota transit. Bukan hanya penduduk Papua yang menjadikan Jayapura sebagai kota transit, turis asing maupun lokal juga menggunakan kota ini sebagai kota persinggahan bila ingin menuju pedalaman. Penerbangan dari Jayapura ke pelosok pedalaman juga lebih mudah didapat, dibanding penerbangan dari kabupaten lain.
Iklim di wilayah kabupaten Jayapura adalah tropis, dengan temperatur rata-rata 25 - 35 derajat celcius, di daerah pantai temperatur 26 derajat sedangkan di daerah pedalaman temperaturnya bervariasi sesuai ketinggian dari permukaan laut. Perbedaan musim hujan dan musim kering hampir tidak ada, karena pengaruh angin. Curah hujan berkisar antara 1500 - 6000 mm/tahun. Dengan jumlah hari hujan dalam setahun rata-rata 159 - 229 hari, curah hujan tertinggi terjadi dipesisir pantai utara sedangkan terendah di daerah pedalaman (sekitar wilayah Kemtuk Gresi - Nimboran).
Menuju Keerom Ke Perbatasan PNG

Karena pekerjaaan sudah beres kami merencanakan melihat gudang pupuk di Abepura dan ke Perbatasan PNG di Kerom. Kami dijemput Aldo (31 thn) dan Wandi (30 thn), rekan di Jayapura. Kami melewati Pelabuhan Jayapura, Jl Arga pura, Komplek Hamadi. Terlihat Bukit Jayapura City yang menjulang tinggi. Di atas bukit nampak antene tinggi dan salib besar. Kami melewati Entrop dan jalan berkelok mendaki ke Bukit Skyline. Di pinggir lembah terjal di pinggir jalan ada monumen kecil tempat Theys, seorang tokoh Papua dibunuh. Di situ ditemukan mobil Theys yang digulingkan. Ada juga papan nama partai lokal, Partai Karya Perjuangan Papua di Abepura.

Di sekitar banyak penjual es kelapa dengan warung-warung semi permanen di pinggir jalan. Kata Wandi, kalau minum es kelapa menjadi dilema karena stamina tubuh bisa turun dan memungkinkan terjangkit penyakit malaria. Tapi, kenapa banyak sekali penjualnya? Tetapi memang tak banyak pembeli di warung-warung tersebut. Pemandangan di pinggir jalan tersebut ke laut lepas dengan pulau-pulau kecil di teluknya. Menurut Wandi, kebanyakan yang menempati pulau-pulau tersebut adalah nelayan dari Ambon. Ada juga pulau kosong

Ada bukit seperti batok terbalik, diatas ada gua dan Vihara Budha. Di tempat ini juga pernah ditemukan mantan tentara Balanda yang perang dengan RI sewaktu perebutan Irian Jaya. Dia diitemukan bertubuh kurus, rambut panjang dan kuku panjang. Beberapa pemandangan tebing yang tegak yang mengundang para pemanjat tebing untuk mendakinya. Kami masuki Abepura. Ada Gedung MRP (Majelis Rakyat Papua) Jl. Raya Abepura. Ada tempat Kesatrian Karel S Tubun dan banyak anggota TNI. Melewati gedung Badan Perpustakaan Nasional.

Kami masuk ke daerah Lingkaran Abepura. Lalu melihat Pantai Hamadi, tempat tentara sekutu mendarat pertama di Jayapura sewaktu Perang Dunia II. Pantainya lumayan indah dengan pasir putih. Ombak kecil berarak. Nampak anak-anak kecil telanjang bermain air di pinggir laut. Mereka tertawa lucu. Rambut keriting, kulit gelap dan ada yang hidungnya berlendir. Saya dekati dan saya potret. Mereka senang sekali. Anak-anak Papua yang masih polos. Masih nampak 3 tank sisa perang dunia II diparkir di pinggir pantai. Tank sudah penuh dengan korosi.

Tak lama kami di Pantai Hamadi. Kami memacu mobil ke arah perbatasan. Jaraknya sekitar 60 km ke arah Timur. Kami menyusuri hutan. Ada satu dua pemukiman diantara hutan yang luas. Beberapa orang nampak menjemur buah coklat. Kami melewati pemukiman Kampung Buton. Juga melewati pemukiman Kampung Enrekang. Terlihat rumah khasnya yang berwujud rumah panggung dari kayu. Seperti rumah adat Manado. Di antara rumah banyak tanaman jagung, merica, coklat. Hutan-hutan dengan banyak pohon matoa, pinang. Tanaman merica seperti tanaman sirih, merambat pada pokok pohon besar. Juga rumput gajah asli tumbuh sendiri. Kata Wandi, sapi di Papua tak suka makan rumput gajah. Kami melewati hutan beberapa kilo meter. Hutannya masih lumayan lebat. Jalan yang menghubungkan lumayan mulus dengan aspal hotmix.

Kami melewati daerah Arso III, mulai mendekati areal transmigrasi. Banyak orang Jawa bermukim di sini. Makin banyak terlihat pemandangan seperti di daerah Jawa. Rumah-rumah tembok dengan satu dua masjid sederhana. Ada beberapa sawah dengan sapinya. Satu dua petani berwajah Jawa melintas, lainnya penduduk asli Papua berjalan kaki. Di areal trans juga ada tempat rekreasi yaitu pemancingan ikan. Beberapa penduduk trans di Koya membuat kolam dan mengisinya dengan ikan. Di sini juga ada ikan mujair, ikan emas, bahkan ikan cethul kecil-kecil -di Bandung namanya ikan imun- yang banyak terdapat di selokan di Jawa. Ternyata ikan cethul ada di mana-mana. Dulu saya pikir hanya ada di Jawa, ternyata di Kalimantan dan Papua juga ada. Ada 5 tempat pemancingan dipagari kayu sederhana. Tempat ini terdiri dari 6-7 kolam besar ikan mujair dan ikan emas. Kami makan siang di salah satu areal pemancingan. Tempatnya luas sekali. Kalau hari libur katanya daerah ini banyak sekali pengunjungnya. Sayang saat itu hari Senin dan hanya kami saja yang makan siang di situ.

Kami masuki hutan belantara di wilayah Koya di Kab Keerom, kabupaten paling timur di Jayapura. Jalanan masih mulus dengan aspal hotmix. Katanya jalan baru saja diperbaiki karena mau diresmikan Presiden SBY. Pertigaan Jl. Ke kiri Wutung, Skow. Ke kanan ke Koya Timur.

Kami memasuki daerah perbatasan. Di sini dijaga oleh TNI. Kami lapor dulu ke Pos jaga tentara. Ada plakat Selamat Datang di Muara Tami, Pos Koki A Yonif 408/SBH Satgas Pamtas RI-PNG. Saat itu yang jaga Yonif 408 Kodam IV Diponegoro. Kami mengobrol dengan beberapa personil TNI dari Jawa Tengah. Mereka sudah bekerja di perbatasan selama 8 bulan. Jatahnya satu tahun baru berganti ke Kodam lain untuk menjaga wilayah perbatasan. Setelah lapor, ada 2 orang tentara yang ikut menumpang pada mobil kami menuju perbatasan. Kami mengobrol. Mereka berdua rumahnya di Sragen. Tentara yang jaga di perbatasan, keluarganya ditinggal di Jawa Tengah. “Apa hiburannya di sini?”. “Memancing dan berburu rusa,” kata mereka. Memang hutannya masih lebat dan kabarnya banyak rusa masih berkeliaran di hutan.

Sekitar 2 km dari pos jaga kami lapor lagi ke pos polisi sekalian menurunkan 2 tentara yang menumpang tadi. Ada pos Pemeriksaan Lintas Batas PPLB Skouw dan kantor imigrasi. Mobil ditinggal di pos polisi. Dulu mobil boleh terus sampai gerbang perbatasan. Sekarang harus diparkir di dekat kantor imigrasi dan kami berjalan kaki menuju pagar batas. Nampak banyak orang PNG dengan wajahnya yang khas Papua berjalan kaki membawa barang belanjaan. Ada yang masih muda ataupun sekeluarga lengkap dengan anaknya. Nampaknya mereka sudah terbiasa untuk belanja ke Indonesia. Banyak juga yang jualan pinang/jambe untuk menginang dengan harga Rp 1000-1.500/biji.

Ada dua gate besar di jalan 2 jalur ke perbatasan. Gate pertama keluar dari wilayah Indonesia. Bertuliskan Selamat Jalan Good Bye dan di baliknya bertuliskan Welcome to Indonesia. Gate satunya masuk ke negara PNG dengan tulisan Welcome to Papua New Guinea, Yesus Christ is dengan bahasa lokal Welcam long Papua Nugini, Lord over this land. Diantara dua gate sepanjang sekitar 300 m tersebut merupakan daerah bebas.

Kami masuk ke PNG dan melihat-lihat di sekitar situ. Ada suatu tempat lapang seluas seperempat lapangan bola dan di pinggirnya beberapa penjual barang di lapak-lapak sederhana. Ada juga yang menggoreng sosis dan pisang dengan alat penggorengan yang sangat sederhana dan hanya menggunakan kayu bakar. Barang yang dijual antara lain kaos, kain panjang bertuliskan PNG, topi, tutup kepala, tas, sepatu, slayer dengan warna-warna khas PNG hitam, ungu, kuning. Harganya lumayan mahal. Harga kaos olah raga sederhana Rp150.000, harga tutup kepala Rp40.000. Di Bandung barang-barang tersebut harganya tak lebih dari Rp20.000. Beberapa makanan kaleng dijual juga. Saya beli tutup kepala berlogo PNG seharga Rp40.000 dan sekaleng kecil kacang seharga Rp20.000 untuk sekedar kenang-kenangan. Saya membeli dengan uang rupiah dan meminta kembalian dengan uang PNG, Kina. Satu Kina dihargai Rp3,5 ribu. Kata Wandi, dia senang sekali karena uang rupiah berharga untuk membeli barang-barang di Indonesia. Biasanya nilainya sekitar Rp2.000-3.000. Beberapa wanita PNG bertubuh gemuk mondar-mandir di situ. Mereka memakai baju-baju sederhana dan kebanyakan berbadan gemuk. Ada satu dua tamu juga dari Indonesia melihat-lihat barang jualan. Sepertinya tak banyak yang membeli karena harganya jauh lebih mahal. Dari jauh terlihat pantai PNG yang indah dengan pasir putihnya. Kalau mau ke PNG tidak menginap bisa minta ijin ke Imigrasi dan diberi kartu merah. Gratis, kata Aldi dan Wandi. Tanpa visa.

Ada dua mobil Toyota dengan model seperti L-300, semacam angkotnya parkir di situ dan beberapa penumpang menunggu. Nampaknya banyak yang mondar-mandir PNG-Indonesia. Ada poster besar pencegahan Aids berbahasa lokal, Lukautim yu yet long Aids. Ada juga poster berbahasa Inggris dengan gambar warga PNG sebuah gedung kecil, Stop the violence againt women dan No condom no sex, Protect yourself from Aids.

Kami melewati Gate di PNG yang bertuliskan Goodbye tank you for visisting PNG God be with you dengan bahasa lokal Gudbai tenkyu long kam lukim Papua Nuigini God istap wantaim yu. Ada mercu suar berbendera Indonesia. Di luar jalan dengan gate tersebut hanya hutan saja. Dari jauh di bukit hutan terlihat samar bendera merah putih lusuh berkibar.

Banyak penduduk PNG yang mondar-mandir ke wilayah Indonesia untuk berbelanja keperluan hidup sehari-hari karena harga barang di PNG jauh lebih mahal. Mereka membawa kardus-kardus besar dipikul di pundaknya atau memakai kereta dorong. Ada yang membawa ember plastik besar. Ada yang membawa keperluan dapur seperti teh, kopi dll. Terlihat 3 motor di pinggir jalan yang penuh membawa buah pinang.

Di daerah dekat perbatasan ada pasar tersendiri untuk warga PNG. Ada bangunan los di tiga tempat untuk semacam toko-toko keperluan hidup sehari-hari. Penjualnya kebanyakan juga warga pendatang seperti dari Jawa, Sunda dll. Yang dijual kaos, baju, tas, kaset, vcd, alat jaring ikan dan beberapa kebutuhan rumah tangga. Uniknya masing-masing kios memasang bendera merah putih meskipun bukan pada musim 17 Agustusan. Terlihat banyak juga arus orang PNG membawa barang dari Indonesia ke PNG.

Tak lama kami di situ. Setelah menikmati keadaan kami balik lagi melewati jalan sama. Di perjalanan kami jumpai satu dua pasar kecil yang menjual jagung rebus atau jagung bakar. Juga jualan mama-mama Papua dengan meja sederhana di pinggir jalan. Di Jayapura, kami mampir di Pasar Hamadi untuk membeli souvenir. Ada sekitar 6-8 buah toko berjejer yang menjual berbagai soevenir khas Papua, antara lain koteka, berbagai ukiran kayu dari beberapa suku di Papua, tifa, panah, tameng, berbagai senjata tradisional, batu-batu unik, tas, lukisan kulit pohon, berbagai asesoris kepala dll. Saya membeli beberapa barang untuk kenangan. Gantungan kunci Rp2000-an, aneka gelang Rp2000-10.000, Koteka seharga Rp15.000-20.000, lukisan kulit pohon seharga Rp20.000-30.000, tifa seharga Rp80.000-Rp3 juta, patung kayu harga dari Rp80.000 sampai jutaan, tameng berukir dengan harga jutaan dll. Yang terasa khas adalah lukisan kulit pohon dengan aneka motif lukisan, kebanyakan model Sentani dengan ornamen yang menonjol ikan, katak, kadal, biawak. Hiasan ini menghiasi beberapa kamar hotel di Papua. Koteka ternyata modelnya banyak, koteka panjang katanya untuk orang yang bertubuh pendek, koteka dari PNG ukurannya besar dan pendek.

Melihat Museum dan Puncak Mc Artur

1 komentar: